Menemukan Kembali Makna Pergantian Waktu

Image

 

Bumi yang kita diami ini sudah tua. Bilangan angka tahun nya sebagai pertanda betapa bumi ini kian tahun dan kian abad semakin menua. Sejarah panjang bumi ini pun telah dilalui. Tidak hanya bilangan angka 2.013 tahun saja bumi ini hidup, namun masa sebelum masehi bumi ini pun telah menjalani sejarah panjangnya yang telah berumur jutaan tahun. Kerusakan alam, bencana, dan rusaknya keseimbangan alam merupakan tanda bahwa bumi yang kita huni sudah tua dan suatu waktu tidak sanggup lagi menahan usianya yang tua itu. Dan kita manusia hidup hanya pada seper-sekian juta tahun usia bumi. Pada perbandingan usia manusia yang singkat itu, katakanlah usia manusia 80 tahun dan perbandingan usia bumi yang jutaan tahun kadangkala menimbulkan keraguan manusia akan kemungkinan berakhirnya kehidupan alam semesta ini. Namun lagi-lagi ini hanyalah dari perspektif pandang manusia, bagian yang kecil bila diperbandingkan dengan bagian yang besar bahkan sangat besar maka bagian yang kecil itu seringkali tidak tampak karena tertutup oleh bagian yang besar.

Sepatutnya dengan usia bumi yang semakin menua ini menjadi titik berangkat akan sebuah bangun rancang kehidupan kita. Untuk apa kita hidup, dan kemana setelah kita hidup. Usia bumi tidak akan lama lagi, begitu pula penduduk yang menetap didalamnya. Agar kehidupan yang kita laksanakan dihari ini menjadikan kita siap dalam segala-galanya. Siap dalam menjalani hidup saat ini agar hidup yang sementara ini bermakna pada aspek historisnya. Sehingga melakukan evaluasi dan introspeksi diri menjadi mutlak kita lakukan.

Saat ini merupakan tahun baru masehi, di awal tahun 2013. Hampir berdekatan pula dengan pergantian tahun 1434 H sebulan yang lalu. Bilangan angka tahun tersebut merupakan akumulasi dari proses sejarah yang menaunginya. Pada rentang waktu itulah berbagai macam pergulatan sejarah terjadi.

Sebuah kekhawatiran pun timbul. Pergantian tahun yang kita lakukan tiap tahunnya, jangan-jangan hanyalah sebuah pergantian bilangan angka tahun saja. Pergantian hanya terjadi pada sistem penanggalan, yang dulu 1433 H maka sekarang 1434 H, yang dulu 2012 maka sekarang 2013. Tentu jika kita memahami seperti itu, hampir dapat dipastikan pergantian tahun kapan itu kita kehilangan makna. Tidak ada titik refleksi disana. Berlalu hanya sebagai penambahan 1 angka dari bilangan matematik.

Menarik mencermati perayaan tahun baru masehi. Dari tahun ke tahun tidak ada yang berubah. Praktis sama. Lihat saja, tahun baru selalu disimbolkan dengan perayaan-perayaan. Layaknya pergantian tahun, tahun baru sejatinya merupakan sebuah pergantian waktu yang sejatinya pun sama pula dengan pergantian waktu yang lain. Dalam setahun ada 12 bulan, dan itu artinya ada pergantian waktu tiap bulannya. Lalu dalam setahun ada 52 pekan itu artinya ada pergantian waktu dalam tiap pekannya. Lebih kecil lagi, dalam 1 tahun merupakan kumpulan kecil dari detik demi detik waktu yang terakumulasi menjadi bilangan  1 tahun.

Segala bentuk perayaan malam tahun baru kehilangan makna bila bentuk perayaannya justru menjadikan diri kita semakin terpuruk. Atau bahkan menjadi semakin mundur daripada keadaan sebelumnya. Pergantian malam tahun baru yang seringkali hanya sebuah bentuk perayaan euphoria belaka dan setelah esok harinya tidak memiliki semangat apa yang akan ia jalankan. Atau celakanya semangat yang membara itu hanya ada saat pergantian waktu malam tahun baru itu, bahagianya hanya saat itu. Tidak mempunyai efek terhadap aktivitasnya selama setahun kemudian. Praktis hanya suka cita yang semu, dan larut dalam gegap gempita pergantian angka tahun yang terjadi sekali setahun itu.

Disini berarti perayaan yang terjadi hanyalah perayaan yang bersifat simbolistik belaka. Ya simbolistik yang lebih pada perubahan angka pada bilangan angka tahun itu. Padahal jika kita mau, kita dapat melakukan perayaan pergantian waktu itu tiap bulannya, tiap pekannya, tiap harinya, bahkan perayaan  tiap detiknya dengan memanfaatkan waktu yang ada dengan segenap energi yang kita miliki. Saya kira itu lebih penting dari hal apapun dalam perspektif kita dalam memaknai waktu yang sesungguhnya. Perayaan yang saya maksud ialah perayaan atas tiap detik yang kita jalani menuju pematangan hidup dan kehidupan kita. Perayaan atas pergantian waktu yang terjadi sekali dalam setahun ini terlalu kecil untuk kita lakukan, karena sesungguhnya perayaan itu bisa sepanjang tahun bisa kita lakukan.

Secara teori mengatakan bahwa waktu sehari yang lalu yang telah kita lalui tidaklah sama dengan waktu saat dimana kita saat ini berada, kemarin telah berlalu, dan saat ini adalah waktu yang baru. Waktu yang sama sekali belum pernah kita berada di dalamnya. Sehingga disini mudah melogikakannya mengapa manusia yang dari bayi beranjak kanak-kanak, remaja, lalu dewasa, dan suatu ketika meninggal dunia. Itu karena setiap fase waktu yang telah ia miliki telah ia jalani hingga usia menggerus fisiknya hingga ia tidak sanggup lagi menjalani hidup ini yang ditandai dengan kematian.

Sehingga sebuah anggapan yang salah bila waktu yang saat ini kita berada itu adalah sama dengan waktu saat kemarin yang kita lalui. Waktu bila boleh dianalogikan dengan dua buah apel, katakanlah apel A dan apel B. Saat apel A dengan lahap kita makan maka yang tersisa adalah apel B. Apel B bukanlah apel A yang telah kita makan, namun apel lain yang masih tersisa, walaupun mungkin secara tampilan fisik tidak ada yang dapat membedakan kedua apel itu. Namun tetap kedua apel itu berbeda. Dari sini dapat kita pahami bahwa waktu yang dimiliki tiap manusia betul-betul merupakan aset. Dengan waktu yang ia miliki itulah ia dapat berbuat banyak hal demi kehidupannya yang lebih baik.

Nah disinilah kita kembali harus menemukan kembali makna waktu itu. Waktu sesunggunya merupakan aset kehidupan. Waktu merupakan investasi yang bisa menjadikan manusia siapapun, dan membalikkan sejarah manusia. Tengok saja, para tokoh ataupun ilmuwan dimasa lalu. Mereka pada mulanya bukanlah siapa-siapa, orang biasa. Namun, saat pemanfaatan waktu yang digunakan begitu ia maknai dengan sepenuh hidup dan jiwa raganya. Sehingga waktu yang ia jalani telah memberi warna pada sejarah hidupnya.

Sebagai makhluk yang dibekali akal, pergantian tahun harus memiliki makna yang lebih dari itu. Pergantian tahun haruslah dimaknai sebagai titik berangkat perubahan diri. Melakukan refleksi, evaluasi diri lalu selanjutnya lepas landas dan melakukan yang terbaik untuk kehidupan dimasa yang akan datang. Tidak berdiam diri, stagnan, dan tertinggal dari perputaran roda zaman. Oleh karena itu, dalam konteks pergantian tahun, kapanpun itu, selama kehidupan dimuka bumi belum berakhir, maka selama itu pula akan tetap ada pergantian waktu. Namun yang harus membedakannya haruslah dari pemaknaan kita terhadap tahun baru itu yang harus penuh makna.

Aku dan Habibie

Tanggal 20 Desember 2012 Film Ainun Habibie di rilis di bioskop-bioskop Indonesia. Melihat tralier nya sepertinya film ini sangat menarik. Film yang menggambarkan kisah percintaan Ainun dan Habibie. Ya Ainun Habibie. Kisah percintaan mantan Presiden ketiga Indonesia dengan almarhumah istrinya Ainun. Dan tiga hari setelah ditayangkan barulah ku sempatkan nonton film ini. Sempat penasaran bagaimana kisah cinta Ainun dan Habibie. Bahkan pada suatu kesempatan Habibie mengatakan bahwa Ainun sebagai separu jiwanya. Separuh jiwaku telah pergi, kata Habibie lirih.

Aku punya pengalaman unik dengan Habibie. Bagiku yang masih kanak-kanak dimasa keemasannya, Habibie menjadi sosok idola bagi anak-anak sepertiku ketika itu. Habibie menjadi icon otak yang jenius (dan juga kesantunan dan keshalihan), dan tidak sedikit para orang tua yang mencita-citakan anaknya agar seperti Habibie. Aku menyebut saat menjadi Menristek dan Ketua BPPT sebagai masa keemasan Habibie, dan bukan saat Habibie menjadi presiden. Habibie menjadi Menristek itu lebih berarti dengan karyanya yang monumental : Menciptakan pesawat terbang. Pesawat terbang merupakan pembuktian sampai dimana peradaban bangsa modern. Dan Habibie dengan segenap pikirannya mampu melakukannya, Pesawat Gatot Kaca N-250 membuktikan bahwa bangsa Indoenesia layak disejajarkan dengan bangsa lain yang lebih dahulu telah menciptakan pesawat terbang.

Semasa Habibie menjadi Menristek, ber-otak jenius dan mampu membuat pesawat terbang. Tiap kali aku melihat Habibie di layar kaca mata saya begitu berbinar-binar. Tubuhnya yang mungil, namun dengan milyaran sel-sel otak yang jenius.

Nenekku ketika aku belum bersekolah ketika usia 5 tahunan,  selalu menjadikan sosok Habibie sebagai panutan cita-cita tertinggi. Ingin aku juga menjadi Insinyur seperti Habibie.. ^_^. Ya seperti hal nya orang tua dulu, mereka hanya mengenal satu gelar saja yaitu “Insinyur”. Ya Insinyur merupakan gelar akademik bagi seseorang menempuh pendidikan teknik/teknologi. Dan kebetulan ada contoh kejeniusan seorang insinyur, dia adalah BJ Habibie.

Kebiasaan dikeluargaku, saat lebaran idul Fitri kami sekeluarga solat Id di Masjid Istiqlal. Karena memang hari raya sekali setahun, dan suasana shalat dimasjid besar memang punya kekhusyukan tersendiri. Rasanya senang saja bisa shalat Id sekali setahun di masjid terbesar di Indonesia itu. Bisa shalat bersama dengan Presiden serta para mentrinya.

Masjid Istiqlal merupakan masjid nasional. Artinya masjid ini tingkatan nya nasional. Bila ada event acara-acara peringatan hari besar Islam bertaraf nasional biasanya dilaksanakan di masjid ini. Termasuk presiden, para mentri, sejumlah pejabat tinggi negara, serta duta besar negara sahabat melakukan shalat Id tiap tahun di masjid ini.

Para jamaah riuh bila dibagian depan shaf paling depan berjalan para mentri, dari arah selatan ke utara masjid dan mencari posisi barisan mentri shalat. Ya tentu saat itu, bagi anak seusiaku, yang biasa melihat para pejabat itu dilayar kaca terasa berbinar melihat mereka langsung dihadapan. Dan sudah menjadi tradisi, setelah presiden dan wapres meninggalkan masjid setelah shalat usai, para jamaah sengaja memburu bersalaman dengan mentri dan sekedar mengucapkan selamat lebaran. Walau kadang nampak tidak tertib…

Seingat ku saat Idul Fitri tahun 92 saat aku kelas 2 SD. Seusai shalat id, dilantai dasar masjid. Habibie “dijegat” wartawan untuk wawancara. Ramai dikerubung wartawan. Bagai madu dikerubung lebah. Ramai sekali, berdesakan. Walau akhirnya tertib. Karena ini yang diwawancarai seorang mentri. Aku saat itu bersama ayah ku, siap-siap untuk pulang kerumah. Dan karena yang diwawancarai Habibie, Ayahku sengaja berhenti dan melihat lebih dekat sang Menristek ini. Dan mendengarkan materi wawancara.

Dan entah dapat ide dari mana, Ayahku berujar pelan ditelingaku “Fis, pegang tangannya Habibie, biar pinternya nular!” sambil tertawa kecil. what? Pegang tangan Habibie? Menerobos wartawan itu? Aku ragu untuk melakukannya. Dan akhirnya aku nekat, karena ini kesempatan langkah… lalu, aku pun melangkah, menerobos wartawan yang sibuk mewawancara sang mentri. Salip kri, salip kanan,  menyelinap di sela-sela “brikade” kuli tinta. Dan yap! Aku berhasil mendekati pak Mentri. Dan langsung aku elus-elus punggung tangannya yang halus itu. Seingat ku itu tangan kanan Pak Mentri ^_^. Habibie terus saja menjawab pertanyaan para wartawan, rupanya beliau tidak menyadari usapan tanganku ditangannya. Operasi Sukses! Aku sudah mengelus tangan manusia jenius itu. Dan setelah operasi sukses aku pulang girang tiada kepalang. Semoga “keramat” tangan Habibie menular kepadaku dan menjadikan aku sukses dimasa depan, dan menjadikan ku orang besar ^_^, itu harapan ide Ayahku saat itu…

Wah bagiku ini pengalaman dengan Habibie ini yang sangat berkesan dari sejumlah mentri yang kujumpai saat Id di Istiqlal dari tahun ke tahun. Selain berjabatan dengan Menlu Ali Alatas, Menpora Hayono Isman, dan sejumlah mentri lainnya…. Pengalaman yang sangat menyenangkan bagi anak-anak seusiaku saat itu……….

Suatu saat, aku ingin menceritakan hal ini lebih dekat kepada Habibie, tentang kejadian ini… Moga kesempatan itu ada…. ^_^…

Citarasa Cinta

Oleh : Ofis Ricardo

aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Darmono)


Kesederhanaan dalam mencinta sangat tampak pada Syair ini. Cinta yang sederhana. Tidak rumit. Cinta digambarkan dari hal yang seakan tidak berharga. Siapapun dapat melakukannya. Mencinta cukup dengan “kata” dan “isyarat”.


Sang pencinta tentu sangat menginginkan kekasihnya dapat merasakan kuatnya rasa cintanya. Sehingga sang pencinta rela mencurahkan cinta kepada kekasihnya. Semuanya. Tidak bersisa. Bahkan apapun yang diminta sang kekasih akan diberikan. Demi menunjukkan cintanya. Apapun akan dipersembahkan.


Penggambaran citarasa cinta dengan ungkapan api dan kayu sungguh sederhana. Angan-angan kita akan terbawa pada suatu kondisi bagaimana begitu lahapnya api menjilati kayu-kayu kering. Menjilat kayu tanpa menunggu perintah. Perintah dari siapapun. Karena memang begitulah. Sunnatullah api membakar kayu. Api tak sempat berkata apapun untuk membakar kayu karena begitu spontannya api menjalankan sunnatullahnya. Melahap dengan sekejap mata. Dan dalam sekejap mata kayu yang kokohpun berubah menjadi debu yang tak segan diterbangkan angin. Tak berat dilarutkan air. Citarasa cinta yang serderhana namun menggugah.


Dalam konteks lain, hujan yang turun kebumi sebagai sebuah rasionalisasi sirnanya awan di langit. Gumpalan awan kelam yang begitu angkuh menguasai angkasa, hilang seketika. Karena rintik air hujan telah jatuh ke bumi. Dengan segala sunnatullahnya, awan hilang karena hujan tanpa syarat dan tanpa memberi isyarat. Karena awan menjalankan kodratnya. Sirna setelah hujan tiba.


Lalu, sebenarnya bagaimanakah citarasa cinta yang sesungguhnya. Citarasa cinta pada derajat tertinggi. Apakah citarasa cinta agung itu seperti Shah Jahan yang mempersembahkan “Istana Mahkota” Taj Mahal kepada istrinya Mumtaz Mahal. Atau seperti ungkapan pembuktian cinta seorang raksasa gagah bernama Bandung Bandawasa kepada putri cantik nan jelita Rara Jongrang dengan mendirikan seribu candi dalam semalam. Apa seperti sikap ekstrimis citarasa cinta Romeo-Juliet yang setia sehidup semati dengan menenggak racun, lalu mati seketika.  Apa itu semua sudah menujukkan citarasa cinta yang begitu agung?


Citarasa cinta yang mereka tunjukkan terlalu rumit. Citarasa cinta mereka hanya diartikan dengan persembahan materi, pengorbanan jiwa raga, hingga menjemput ajalnya. Sedangkan oleh mereka pengorbanan cinta non-materi dianggap belum membuktikan derajat cinta tertinggi.


Bagaimana citarasa cinta itu ditunjukkan. Dan bagaimana menggelorakan cinta yang tidak rumit namun dapat menghentakkan Jiwa para sang pencinta. Dan pada akhirnya sang pencinta terbang kealam jiwa yang penuh dengan cinta dan kedamaian yang tak mengenal batas.


Anis Matta dalam karya Serial Cinta nya, memberikan sebuah dimensi bahwa Cinta adalah gagasan dan komitmen jiwa tentang bagaimana membuat hidup orang yang kita cintai menjadi lebih baik. Jika perhatian memberikan pemahaman mendalam tentang sang kekasih, maka penumbuhan berarti melakukan tindakan-tindakan nyata untuk membantu sang kekasih bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.


Tentu setiap pencinta tidak kuasa melihat sang kekasih hidup tak bernyawa. Ia hidup, tetapi semangat hidupnya rapuh, hilang tak berbekas. Dan pergi entah kemana. Dan itu lah awal kematiannya yang sesungguhnya. Bahkan lebih tragis dari kematian Romeo-Juliet. Tidak punya semangat penumbuhan dari sang pencinta menjadi mutlak adanya bila ia ingin membuktikan kuatnya rasa cintanya.


Bahu-membahu terhadap sang kekasih. Menebar rahman dan rahim. Memberikan perhatian lebih kepada orang yang dicinta, dan menginginkan setiap detik dari hidupnya selalu berada dalam kebaikan. Itu lah citarasa cinta yang sesungguhnya. Membangun jiwa sang kekasih tidak mutlak dengan limpahan materi maupun dengan pengorbanan materi, seperti hal nya pengorbanan Bandung Bandawasa dengan seribu candinya. Tetapi menjaganya agar tetap semangat dalam menghadapi tantangan hidupnya itu jauh lebih dari segalanya.


Pada kondisi seperti ini pembuktian cinta tidak lagi berada pada tataran materi seperti Shah Jahan dengan istana megahnya Taj Mahal. Namun, lebih dari itu. Berada dalam alam jiwa. Jiwa yang penuh ikhlas mempersembahkan pengorbanan agar hidup sang kekasih menjadi lebih baik. Bertumbuh. Tumbuh menjadi lebih baik. Saling mendorong kekuatan entitas diri. Penumbuhan memberikan sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Saling menasehati dalam kesabaran. Saling membina diri dan terus membuka diri. Sehingga satu sama lain dari hari ke hari merasakan begitu cinta telah mengubah hidup mereka menjadi yang semakin baik. Di sini cinta adalah sebuah pekerjaan. Pekerjaan jiwa, pikiran dan fisik sekaligus. Itu yang membuat citarasa cinta begitu terasa. Citarasa cinta pada derajat tertinggi.


Memberikan semangat penumbuhan kepada sang kekasih, menuntun perkembangannya, dan mengantarkannya meraih derajat tertingginya jauh lebih agung daripada berkorban nyawa. Dan pada akhirnya sang kekasih mencapai puncak tertinggi pada masa peradabannya. Dan mampu mewarisi kepada generasi sesudahnya, dan ia akan dikenang pada sepanjang sejarah zamannya.

Relevansi Ramadhan Di Dalam Membangun Peradaban Ummat

Oleh : Ofis Ricardo

Ramadhan merupakan karunia dari Allah kepada ummat Nabi Muhammad SAW untuk melakukan optimlisasi amal ibadah. Ummat sebelum zaman Nabi Muhammad SAW telah Allah karuniakan kepada mereka usia yang panjang, Ummat nabi Nuh misalnya, yang mencapai usia hingga ratusan tahun. Hal ini membuat mereka memiliki kesempatan yang lebih panjang untuk beribadah serta berbakti kepada Allah SWT.

Dsisi lain ummat Nabi Muhammad SAW, yang memililki usia relatif lebih pendek, dengan Maha Pengasih Nya menganugerahkan Ramadhan sebagai sarana untuk melakukan akselerasi amal ibadah. Sehingga dengan pahala yang berlipat ganda di bulan Ramadhan, dapat disetarakan dengan ibadahnya seorang manusia yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Sejarah telah mencatat Ramadhan telah berhasil mengukir sejarah penting di dalam membangun sebuah peradaban ummat manusia. Di dalam sejarah ummat manusia dijelaskan bagaimana mata dunia terbelalak menyaksikan tentara perang Rasulullah meluluhlantakkan kaum Quraisy pada bulan Ramadhan pada tahun ke dua Hijriyah dan membebaskan Kota Mekkah pada tahun ke delapan hijriyah. Muzaffar Quthus menaklukkan pasukan Tartar dalam perang ‘Ain Jalut pada bulan Ramadhan, Shalahuddin Al-Ayyubi mengusir perang salib dari tanah Palestina dalam perang Hithin juga pada bulun Ramadhan. Muhammad Al-Fatih Murad melakukan puasa sunnah tiga hari berturut-turut sebelum merebut Konstantinopel.

Kemenangan yang mereka raih itu, sebagai wujud Ramadhan akan selalu dan senantiasa menciptakan pahlawan-pahlawan baru yang akan membangun peradaban ummat manusia. Ada satu hal yang sangat menarik yang patut di ungkap di dalam perang Badar. Skenario Allah memang sangat indah. Perang badar terjadi pada tahun kedua hijriyah. Pengondisian serta persiapannya terjadi setahun sebelumnya dan Allah men-skenario-kan perang badar saat Ramadhan. Saat Allah untuk pertama kalinya mewajibkan berpuasa. Perang itu merupakan perang atas hasil dua kemenangan sekaligus. Bahkan menjadi penyebab dan pengantarnya. Kemenangan pertama adalah kemenangan di alam jiwa. Kemenangan di alam ruh. Mereka berada di puncak keimanan, jiwa-jiwa mereka melanglang buana di langit keimanan dan tawakal, hasrat dan rindu mereka hanya terpaut kepada surga. Kepecayaan yang tidak terbatas pada Allah SWT. Tekad baja yang tidak terkalahkan dalam menegakkan kebenaran, keberanian yang yang tak pernah dapat disentuh oleh ketakutan, dan kerinduan pada surga yang tidak dapat diselesaikan oleh fatamorgana dunia menjadi hal yang yang memberi energi dahsyat.

Mengapa kemenangan demi kemenangan itu dapat terjadi? Allah Maha Tahu fitrah manusia. Mereka memiliki dimensi ruhani yang kokoh yang dapat memompa jiwanya untuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang konsisten serta terarah. Dimensi ruhani menurut fitrahnya akan selalu mengikuti apa suara Tuhan. Sehingga perlupotensi itu terus dikembangkan. Ramadhan dan puasa momentum yang tepat untuk itu. Itulah rahasianya, puasa! Puasa menjadikan setiap mukmin meraih kemenangan di alam jiwa, sebelum meraih kemenangan di alam nyata. Dan pada akhirnya akan memilki suara hati yang sesuai dengan fitrahnya. Sehingga gerakan-gerakan membangun peradaban itu dapat dilakukan berdasarkan ruhani yang kokoh, bersih, dan suci.

Melihat konteks kekinian, dengan permasalahan ummat yang begitu kompleks, dibutuhkan ruh baru untuk membangun sebuah peradaban yang kokoh seta mengakar kuat. Pembinaan yang dilakukan Ramadhan pada aspek ruhaniyah, fikriyah serta jasadiyah memberikan andil besar untuk menciptakan pahlawan-pahlawan itu.
Dalam konteks kebangsaan Indonesia, Ramadhan berpotensi besar utuk menciptaan pahlawan Indonesia. Secara spesifik golongan-golongan yang dapat menjadi golongan pembaharu Indonesia, (Ust Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia) mereka itu adalah setiap ummat manusia yang :

1. Memiliki Keberanian :
Sahabat abu Bakar serta Utsman Bin Affan dengan segenap keikhlasan dalam dirinya menyerahkan seluruh harta bendanya untuk Jihad Fii Sabilillah. Sementara sahabat Umar bin Khattab dengan tenaganya, ikhlas untuk mengeluarkan darahnya. Disisi lain Ali Bin Abi Thalib dalam usia belasan tahun sudah menghunuskan pedang berjihad di jalan Allah.

2. Sabar
Sabar merupakan salah satu out-put yang diharapkan setelah selesai melaksanakan Ramadhan. Sabar akan segala ujian, sabar akan segala penderitaan, kemiskinan. Serta sabar akan nyawa sebagai taruhannya.

3. Pengorbanan
Ramadhan membina setiap ummat untuk dapat berkorban. Mengorbankan segala-galanya demi kejayaan ummat.
Begitulah Ramadhan men-tarbiyah ummatnya, membangkitkan potensi ruhani. Menciptakan kemenangan di alam jiwa sebelum kemenanangan di alam nyata. Dan Ramadhan akan menciptakan pahlawan-pahlawan baru bagi ummat, bangsa serta peradaban manusia. Jika kita (seluruh kaum mukmin) melaksanakan puasa dengan penuh kesungguhan serta kesabaran, maka kitalah yang akan menjadi Pahlawan Indonsia yang sedang dinanti itu.
Wallahu ‘alam bisshawab

Menulis dengan filsafat lebih tajam daripada orasi teriakan di jalan